Mungkin di antara Sobat Principal ada yang pernah mengalami hal ini: Baru aja gajian, tapi duit sudah amblas. Di tengah bulan, sisa uang di rekening cuma cukup buat hidup seminggu.
Hmm, you’re not alone. Kasus seperti ini bukan hanya dialami satu-dua orang, melainkan banyak sekali orang di dunia yang mengalaminya. Kalau kamu menduga penyebab masalah ini adalah jumlah penghasilan yang kurang cukup menutupi pengeluaran sehari-hari, faktanya adalah mereka yang punya penghasilan besar pun juga mengalaminya lho.
Hal ini membuktikan bahwa jumlah uang bukanlah masalah utama dalam kejatuhan finansial seseorang. Melainkan kesalahan dalam mengelola finansial lah penyebabnya. Kebanyakan masalah finansial yang dialami seseorang bersumber dari psikologis. Bahkan hal ini telah disinggung oleh Morgan Housel, penulis buku fenomenal The Psychology of Money. Housel berpendapat, selama ini kita diajarkan memperlakukan uang dalam cara-cara yang merujuk pada aturan dan hukum, tetapi tidak diajari memperlakukan uang berdasarkan emosi dan nuansa.
Lalu, apa saja sumber masalah keuangan selain dari uang itu sendiri? Kali ini Principal akan mengajak Sobat Principal untuk lebih dalam mengetahuinya supaya kita tidak terjebak di dalam lingkaran setan masalah finansial:
1. Komunikasi
Komunikasi dalam menyikapi keuangan itu sangatlah penting, Sobat Principal. Banyak orang yang gagal berkomunikasi dengan dirinya sendiri tentang kondisi keuangannya. Akibatnya, mereka menyangkal bahwa kondisi keuangannya sedang berada di ujung tanduk dan terus-menerus melakukan kesalahan berulang. Misalnya, ketika jatah entertainment-mu bulan ini sudah habis, kamu masih saja terus membohongi diri dengan jajan di luar, bahkan tak segan untuk berutang ke orang lain untuk memenuhi hasrat bersenang-senang ini.
Komunikasi ini juga penting ketika kamu membina hubungan dengan pasanganmu lho, Sobat Principal. Jujurlah tentang bagaimana kondisi keuanganmu yang sebenarnya. Tak perlu berbohong demi mempertahankan gengsimu di hadapan pasangan. Kalau kamu memang benar-benar sedang tidak punya uang untuk mentraktir pasanganmu atau membelikannya barang yang diinginkannya, katakan dengan jujur. Jangan sampai kamu berhutang, apalagi bertindak yang tidak benar demi mengesankan dan menyenangkan pasanganmu. It’s a big no no!
2. Inner child
Inner child adalah konsep yang menggambarkan tentang sifat kekanak-kanakan seseorang. Sifat ini tersembunyi dan umumnya hadir di masa dewasa sebagai wujud hal yang tidak selesai di masa kanak-kanak seseorang.
Inner child yang terluka bisa terbawa hingga seseorang dewasa. Percaya atau tidak, Sobat Principal, inner child ini dapat mempengaruhi keputusan finansial seseorang lho.
Sebagai contoh, ketika di masa kecil seseorang tidak mampu membeli barang atau makanan yang ia inginkan, maka di masa dewasa ketika ia sudah memiliki uang sendiri ia akan membeli apa saja yang diinginkannya tanpa terkendali.
Ini adalah faktor yang seringkali tidak disadari seseorang, tapi sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang memperlakukan uangnya.
3. Peer pressure
Mungkin kamu tidak asing dengan skenario ini: Teman sekantormu membeli gadget terbaru dan memamerkannya. Kemudian kamu terlibat pembicaraan dengan temanmu itu dan ia mulai mengunggulkan gadget baru miliknya sembari membandingkannya dengan gadget lama milikmu. Kamu juga melihat teman-temanmu di kantor memakai gadget yang serupa dengan milik temanmu. Pendirianmu mulai goyah meski gadget lamamu sebenarnya masih bagus dan tidak ada yang salah dengan milikmu. Karena terus-terusan dibicarakan, akhirnya kamu pun menyerah dan ikut membeli gadget yang sama dengan milik temanmu supaya bisa diterima di dalam pergaulan.
Inilah yang disebut dengan peer pressure. Tekanan dari teman-teman atau masyarakat sekitar membuat seseorang terkadang emosional dalam membelanjakan uangnya. Padahal seringkali keputusan dalam membelanjakan uang yang didasari oleh peer pressure ini tidak menimbulkan kepuasan yang bertahan lama. Peer pressure hanya menimbulkan kepuasan sesaat karena keputusan finansial itu tidak muncul dari dalam hati atau berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya.
4. Terlalu banyak self-reward
Ya, harus diakui bekerja itu bikin stres. Setelah bekerja keras, boleh banget kok kalau kita mau memanjakan diri sebagai bentuk self-reward. Eh tapi self-reward itu harus bijak lho, Sobat Principal. Alih-alih memanjakan diri, banyak orang yang bersembunyi di balik kata self-reward yang berujung pemborosan.
Self-reward tidak selalu harus dengan liburan mewah atau membeli barang-barang mahal tanpa pertimbangan matang. Self-reward pun bukan artinya jajan berlebihan setiap hari untuk melepas kejenuhan di tengah jam kerja. Terlalu sering memberi diri sendiri self-reward akan membuatmu melakukan pembelian-pembelian yang impulsif, yang ujung-ujungnya akan membuatmu kecewa karena kamu sadar telah memboroskan banyak uang untuk barang yang tidak terlalu berfaedah.
5. YOLO
Istilah “YOLO” alias you only live once bukan lagi istilah yang asing buat generasi kita. Memang, dalam hidup kita sebaiknya menikmati hidup kita karena kita hanya hidup sekali. Tetapi jika diterapkan dalam gaya hidup sehari-hari, YOLO bisa bikin keuangan kita menjerit, Sobat Principal.
Prinsip YOLO tak jarang membuat seseorang membelanjakan uangnya tanpa pertimbangan matang dengan alasan “Kalau nggak beli sekarang, nanti barangnya habis”, “Kalau nggak berangkat liburan sekarang, kapan lagi?” Ya, untuk beberapa alasan, memang keputusan-keputusan ini terdengar masuk akal. Tapi coba pikir lagi deh, apakah worth it kalau kamu mengambil cicilan hanya demi pergi ke luar negeri atau membeli tas mahal yang nilainya akan terus menurun dari hari ke hari?
Seseorang yang mengalami hal-hal di atas selalu mengeluh gajinya tidak cukup, utangnya di mana-mana, dan lebih dari itu, mereka akan merasa tidak bahagia. Padahal, masalahnya bukan dari uang itu sendiri, melainkan ketidakmampuan mengelola keuangan dengan baik. Faktanya, meski gaji setara UMR, kalau kamu pintar mengelolanya, kebutuhan sehari-hari bisa tercukupi kok.
Mengelola keuangan itu bukan hanya mengutamakan kemampuan matematis dan ekonomi semata. Tapi juga dibutuhkan kesadaran tentang mengatur gaya hidup dan menyadari tentang emosi kita terhadap uang.