Diterbitkan pada 17 Des 2020

Ke mana pun kita pernah pergi, menginjakkan kaki di Tanah Suci selalu meninggalkan jejak di hati. Awalnya seperti mimpi, dan akhirnya mensyukuri karena kita terpilih menjadi tamu-Nya untuk menunaikan ibadah haji.

Kalimat di atas mungkin sering kita dengar dari mereka yang pernah berangkat ke Tanah Suci, baik untuk menjalankan ibadah haji maupun umrah. Beribadah ke Tanah Suci selalu memberikan kesan tersendiri. Seperti itu pula cerita yang dibagikan M. Muamar Kadafi (47), yang biasa disapa David, dan Tuti Susilawati (43), saat berbincang dengan Principal, beberapa waktu lalu.

David dan Tuti menjalankan ibadah haji pada usia yang masih tergolong muda. David berangkat ke Tanah Suci pada tahun 2010. Kala itu, ia masih berusia 37 tahun. Sementara, Tuti berkesempatan menjalankan ibadah haji pada tahun 2017, ketika usianya menginjak 40 tahun. Mereka merasa bersyukur bisa menunaikan Rukun Islam kelima di usia muda.

Berhaji di usia muda, kata David dan Tuti, memberikan keuntungan tersendiri. Agar semakin terinspirasi, mari simak kisah mereka!

 

Kalau Sudah Ada Niat, Go On!

Terkadang, langkah awal memulai niat berhaji bisa datang dari mana saja. David mengaku, awalnya dia tak pernah terpikir akan menunaikan ibadah haji pada usia muda. Pada suatu waktu, awal tahun 2008, seorang kolega di kantornya mengajaknya untuk berangkat haji.

“Saya diajak teman sekantor yang saya tahu banget masih bandel. ‘Yuk Vid, berangkat haji’. Dia yang enggak bener aja, mengajak berangkat haji. Akhirnya, Bismillah. Haji itu harus niat dan mampu, bukan niat dan tobat. Saat itu saya ada tabungan Rp60 juta, saya tarik Rp50 juta, mendaftar untuk saya dan istri,” kisah David.

Sejak itu, ia menjaga keinginan dan ikhtiarnya untuk mencukupi tabungan haji, hingga akhirnya berangkat dua tahun kemudian yaitu pada 2010. Karena memang, pada saat itu waktu tunggu haji belum selama seperti sekarang.

Demikian pula Tuti. Semua seolah datang begitu saja. Bermula dari sang suami, Moch. Asaduddien El-Jazidy, yang meyakinkannya untuk membuka tabungan haji.

“Sebenarnya, tidak ada bayangan mau pergi haji. Terinspirasi suami, tiba-tiba menabung untuk haji. Suami tiba-tiba bilang, ‘Bu, bismillah pergi haji’. Embuh kapan (entah kapan). Sejak itu, saya memantapkan hati,” kata Tuti.

Ia membuka tabungan haji pada usia 2011, saat usia 33 tahun.

“Karena keterbatasan dana, menabung dulu, punya Rp5 juta. Berikutnya agar dapat kuota, menggunakan dana talangan bank. Akhirnya, saya berangkat tahun 2017 ketika usia 40 tahun. Bismillah saja, hanya punya niat,” lanjut Tuti.

Bagi Tuti, berhaji harus punya keinginan kuat, usaha keras, dan selebihnya menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

“Kalau memang pengen haji di usia muda, bisa pergi. Mulailah (menabung) dari sekarang. Ketika usia 20 tahun, ada uang, ada niat, segera daftar, karena menunggunya lama. Segera saja, Bismillah,” ujar dia.

 

Siapkan Kondisi Finansial dan Mental

Niat yang kuat juga harus diikuti dengan persiapan secara finansial dan mental. Baik David maupun Tuti melakukan sejumlah strategi agar keuangan mereka mencukupi biaya haji. Tuti mengatakan, biaya haji pada tahun 2017 adalah sekitar Rp25 juta. Ia melunasinya dengan menggunakan dana talangan bank, dan selanjutnya berikhtiar untuk melunasinya dengan menabung.

Sementara, David memperhitungkan dengan rinci antara pemasukan yang diperolehnya, kebutuhan hidup sehari-hari, dan berapa yang bisa disisihkan untuk mencicil biaya haji. Dari situ, ia bisa mendapatkan gambaran lamanya waktu untuk melunasinya hingga berangkat ke Tanah Suci. Memulai tabungan haji dan mendaftar pada tahun 2008, David mendapatkan kesempatan berangkat haji pada tahun 2010.

“Dengan estimasi masih 2 tahun lagi. Take home pay saya saat itu Rp7 juta, saya sisihkan sebulan Rp1 juta. Saya daftar April 2008, bulan Mei, Juni, saya mulai setor sejuta, sejuta. Sampai Januari 2010, dan tahun 2010 itu saya berangkat pada usia 37 tahun,” kata dia.

Tak hanya dari segi finansial, calon jemaah juga harus mempersiapkan mental. David dan Tuti mengakui, ada kekhawatiran dan ketakutan yang membayangi. Namun, kata David, ketakutan belum menjadi pribadi yang baik dan belum menjalankan perintah agama dengan sempurna ini jangan dijadikan sebagai alasan.

“Kalau masih ragu karena (menjalankan ibadah) agamanya belum benar, jangan jadi alasan. Saya juga ada takut-takut, nanti di sana gimana, usia masih muda, cara hidup belum benar, saya bukan santri. Tetapi, saya mantapkan hati, Bismillah,” ujar David.

Tuti menekankan, persiapan mental juga penting dilakukan. Salah satu yang dilakukannya adalah menata hati dan jiwa, serta menjaga kesehatan. Mempersiapkan bekal pengetahuan soal ibadah juga harus dilakukan sejak di Tanah Air.

“Harus ikut manasik haji, kita harus pelajari. Siapkan mental,” kata Tuti.

Selebihnya, pasrah. Tak ada usaha dan niat baik yang sia-sia. David pun mau menempuh perjalanan sekitar 98 kilometer untuk mengikuti manasik haji dari tempat tinggalnya di Semarang ke lokasi manasik di Pekalongan, Jawa Tengah.

 

Perasaan Haru

Ada bahagia dan haru yang mungkin tak cukup disampaikan lewat kata-kata ketika tiba di Tanah Suci. Hal ini dialami Tuti sesampainya di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.

“Ketika turun dari pesawat, kemudian langsung ke Madinah, saya tak henti-hentinya mengucap Subhanallah, Allahu Akbar. Hal yang diinginkan selama ini bisa tercapai, terkabul. Di Nabawi yang begitu indah, luas. Ini yang sangat didambakan, nikmat sekali,” ujar Tuti.

Perasaan nikmat lah yang dirasakan oleh Tuti. Apalagi, lokasi hotel tempat bermalam Tuti dan suaminya di Mekkah, tak jauh dari Masjidil Haram. Mereka bisa berjalan kaki ke Masjidil Haram, tak harus naik kendaraan umum. Baginya, hal ini patut disyukuri karena bisa sesering mungkin melaksanakan shalat berjamaah di sana.

Perasaan khawatir dan takut yang dialami sebelum berangkat kemudian berganti menjadi

“Sebelum berangkat ada perasaan takut. Sampai sana, lebih ke pasrah, serahkan pada Allah. Pasrah, harus ikhlas dan sabar,” ujar Tuti.

Rasa yang hampir sama juga dirasakan David. Bertakbir dan bertasbih, ini yang dilakukannya saat tiba di Tanah Suci. Segala hal yang dilihat di sana membuatnya terpana.

“Tiba di bandara saja, saya sudah terpana. Lihat makam Nabi Muhammad di Raudhah, saya menangis. Saat melihat Kabah pertama kali, di depan mata, saya bersimpuh. Haru,” kata David.

Ia juga mengingatkan, perlunya menjaga lisan. Soal ini, David punya pengalaman tak terlupakan. Pada suatu hari, selepas shalat Zuhur, ia mendengar ada jemaah yang kecopetan. David tak percaya.

“Enggak mungkin ada copet di Mekkah. Saya bilang begitu. Sehabis shalat Ashar, saya kecopetan. Uang bekal saya dan kartu ATM, kartu kredit semua hilang. Bagi saya, ini pengalaman unik. Langsung dijawab semua tindakan saya. Jadi, kita harus pintar-pintar menahan diri, lisan, dan hati,” papar David.

 

Keuntungan Berhaji Pada Usia Muda

Dengan segala tahapan yang dilakukan saat berhaji, Tuti dan David bersyukur mendapatkan kesempatan berhaji pada usia muda. Mereka menceritakan, fisik yang fit turut menjadi kunci kelancaran ibadah haji. Tuti menceritakan, saat prosesi lempar jumrah, jemaah harus berjalan kaki dari lokasi tenda penginapan yang jaraknya sekitar 3,5 kilometer sekali jalan. Jadi, bolak-balik sekitar 7 kilometer. Banyak tantangan yang dihadapi jemaah, terutama mereka yang berusia lanjut.

“Kalau bisa diusahakan saat masih muda, usahakanlah. Kita masih sehat, fisik masih kuat. Karena di sana banyak orang, kita butuh tenaga. Mau di Raudhah, tawaf, sai, melempar jumrah, semua butuh fisik kuat,” kata Tuti.

Bagaimana dengan David?

Ia mengisahkan, ada beberapa pengalaman yang membuatnya bersyukur bisa melaksanakan ibadah haji pada usia sebelum 40 tahun. Tak hanya untuk dirinya, tetapi ia bisa membantu sesama jemaah, terutama yang sudah lanjut usia. Pengalaman pertama, kata David, ia mengantarkan seorang jemaah berusia 70 tahun yang saat di Madinah mengaku belum pernah ziarah ke makam Rasulullah SAW, karena keterbatasan fisik. David mengantarkannya, dan merasa bahagia bisa membantu mewujudkan impian jemaah tersebut berziarah ke makam Nabi Muhammad.

“Kedua, saat ada jemaah rombongan berusia 70 tahun yang hilang. Saya dan beberapa jemaah yang masih muda, kami inisiatif mencari. Sampai 3 jam memutari Masjid Nabawi. Ini karena kami masih muda, fisik masih kuat, dan akhirnya bapak itu ketemu sehingga tidak ditinggal rombongan,” cerita David.

Dengan semua pengalaman itu, lanjut David, berhaji pada usia muda memungkinkan kita mendapatkan pahala lain yaitu dengan membantu sesama jemaah, selain melakukan rangkaian ibadah utama. Oleh karena itu, ia mendorong mereka yang masih muda untuk berupaya menunaikan ibadah haji. Kesempatan haji pada usia muda juga menjadi kesempatan kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

“Kepada yang muda, jangan ragu, mantapkan hati, jangan dengar sana-sini, akan begini, begitu. Jangan ragu, mantapkan hati untuk berangkat,” ujar David.

Semoga pengalaman David dan Tuti bisa menginspirasi kamu untuk punya keinginan berhaji pada usia muda. Karena, tidak ada yang tak mungkin.

Yuk, semangat berhaji selagi masih muda. Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi?

Dapatkan panduan lengkap tentang serba-serbi ibadah haji langsung ke email kamu!

Dapatkan informasi haji terkini langsung ke email kamu.